Rabu, 30 Juni 2010



Tasawuf dalam dunia Islam memiliki tradisi musik, syair, tarian dan lagu yang bernilai artistik. Tradisi ini ada sejak berabad-abad lamanya setelah lahirnya Islam di Makkah. Tradisi ini dapat dikatakan sebagai suatu metode dalam merepresentasikan cinta seorang sufi pada kekasihnya (Tuhan).

Dengan makrifatnya akan Tuhan, seorang sufi terkadang menyalurkan atau mengungkapkan cintanya baik melalui gubahan syair, puisi, tarian, musik, ataupun munajat. Kesusastraan ini berkembang begitu cepat, bahkan juga menjadi tradisi. Sastra yang indah dan memukau yang dihasilkan dari kekuatan cinta.

Para peminat dan peneliti tentang tasawuf dalam Islam menemukan bahwa warisan sastra dalam dunia tasawuf menawarkan sebuah pandangan dari suatu dunia simbolik yang sangat halus. Di mana pengetahuan dan penghayatan tentang Tuhan tertuang di dalamnya.

Tulisan di bawah ini memaparkan dimensi seni dan sastra dalam dunia tasawuf, khususnya berkenaan tentang musik dan syair. Bagian pertama dari tulisan ini membahas ‘tradisi musik dalam tasawuf’, yakni berkenaan dengan ritual mendengarkan syair atau pun puisi yang diiringi dengan musik. Kemudian, bagian kedua, berkenaan tentang ‘syair dalam tradisi sufi’ yang memiliki daya mistis serta daya pikat serta keindahan yang akan mengantarkan para pendengar yang antusias serta serius pada cinta Ilahi.

Tradisi Musik Dalam Tasawuf

Tradisi musik sufi memiliki daya pikat tersendiri dalam perjalanan dunia tasawuf. Selama berabad-abad tradisi ini telah mengiringi eksistensi tasawuf, walaupun hal ini tidak berarti menguniversalkan semua sufi dalam tarekat-tarekatnya menggunakan musik. Karena di antara sekian banyaknya tarekat-tarekat Sufisme, terdapat Tarekat Naqsyabandiyyah dan Qodiriyyah yang tidak setuju dengan pertunjukan musik dan tari

Namun seiring berjalannya waktu, sekarang dua hal ini seakan tidak dapat dipisahkan. Walaupun sufi yang notabene seorang religius yang sampai pada tingkatan keimanan yang tinggi yang berbeda dengan masyarakat muslim lainnya, sedangkan musik adalah sesuatu yang asing bahkan pendapat yang sering didengar adalah tidak diperbolehkannya musik dalam Islam. Akan tetapi dengan argumen kuat yang disampaikan para sufi berkenaan dengan musik, yakni bahwa musik harus dilihat dari sudut pandang Islam dan dinilai dari kandungan etisnya, maka masyarakat pun dapat menerimanya.

Ritual menyimak musik tidak dapat dilihat secara literer bahwa yang membuatnya menjadi menarik adalah musiknya. Namun yang menjadi poin utama dalam tradisi ini adalah kandungan etisnya. Karena musik hanya sekedar iringan berirama ~yang dimainkan oleh para ahli jasa (bukan sufi)~ yang menyesuaikan dengan syair atau lagu yang dibawa oleh seorang penyair. Ritual ini meniscayakan kepekaan sang pendengar. Dalam artian, mendengarkan dengan antusias serta menyimak dengan baik adalah kunci demi mendapatkan ekstase dengan sang kekasih. Inilah yang kemudian dikenal dengan nama sama’. Yakni ungkapan bahasa arab dalam tradisi sufisme yang berarti mendengar, di mana yang menjadi prioritas dalam ritual ini adalah pengalaman dalam menyimak syair dan bukan pada pertunjukan musiknya.

Seseorang yang secara spiritual belum matang tidak akan dapat menyerap musik ke dalam jiwanya. Sedangkan tujuan dan fokus dari ritual ini adalah menghidupkan hati dengan segenap cinta dan makrifat pada Tuhan. Sehingga kesiapan dan kematangan jiwa adalah sesuatu yang niscaya. Oleh sebab itulah, para sufi menganggap mendengarkan musik sebagai sesuatu yang serius dan penting.

Ritual ini tidak lain adalah sebuah varian dalam mengingat Tuhan. Dan sebagaimana halnya sesorang yang akan melaksanakan sholat, maka ia harus berwudhu demi mendapatkan kesucian, maka begitu juga dalam ritual ini. Penyembahan melazimkan bagi seseorang yang hendak menuju pada-Nya untuk bersuci. Tuhan adalah zat yang suci, dan begitu pun bagi hambanya yang hendak berkomunikasi dengan-Nya harus dalam keadaan suci. Sehingga apa pun cara ritual yang ditempuh untuk hal itu perlu adanya kesucian.

Selain nilai kesucian, yang juga diperhatikan dalam ritual mendengarkan musik adalah fokusnya pikiran pada makna estetis. Tidak fokusnya pikiran akibat terlengahkan oleh hal-hal lainnya seperti, cantiknya wajah serta indahnya suara sang penyanyi atau penyair, akan menjadikan nihil ritual yang sedang ia ikuti. Karena semangat mencari keindahan ilahi akan kalah dengan keindahan fisik. Dengan demikian ketika seseorang sudah dapat mengatasi masalah-masalah seperti ini, maka dapat dikatakan bahwa secara spiritual ia sudah matang.

Mereka yang lebih terfokus pada manifestasi lahir musik dari pada bentuk batinnya adalah orang-orang yang tertipu; menurut Ibn Arabi, bentuk audisi spiritual tertinggi dalam tradisi sama’ adalah konsentrasi terhadap manifestasi keindahan wahyu ilahi itu sendiri, yakni dalam al-Qur’an. Ibn Arabi berkata:

Tidak ada agama dalam genderang, seruling, dan permainan;
agama ada dalam al-Qur’an dan sikap hidup.
Ketika aku mendengarkan ayat-ayat al-Qur’an (dibacakan), aku tergerak;
itulah menyimak (sama’), dan membawaku ke dekat hijab.
Sehingga aku menyaksikan Dia yang tidak bisa dilihat
kecuali oleh mata yang yang menyaksikan cahaya dalam al-Kitab.[i]


Selanjutnya dapat kita katakan bahwa terdapat dua keadaan pada seseorang yang mendengarkan ritual sama’. Pertama, ia takluk pada hasrat seksualnya dan kedua, ia merasakan kerinduan pada Tuhan. Tentunya hal ini berhubungan dengan latihan-latihan dalam kehidupan sehari-hari yang tidak dapat dipisahkan dari dua otoritas, yakni otoritas akal sebagai pengatur dan pemegang kendali dan otoritas hawa nafsu yang selalu mengajak pada keburukan, di mana keputusan akhir berada di pundak otoritas akal. Apakah dalam kehidupan sehari-harinya ia takluk pada keinginan hawa nafsunya? Atau ia menjunjung tinggi akal dan selalu menempatkannya di atas hawa nafsu. Oleh sebab itulah, dalam tradisi sufi dikenal namanya tazkiyah an-nafs (penyucian diri) yang akan berdampak pada bersihnya akhlak orang yang bersangkutan. Dan inilah yang merupakan poin penting dalam mendengarkan musik, yakni bahwa ritual ini tidak akan berjalan efektif secara spiritual tanpa didahului oleh pembersihan akhlak.

Kemudian sejak masa al-Junayd (w. 910) ada kecenderungan di kalangan sufi untuk memunculkan tema al-Qur’an ~mengenai perjanjian antara Allah dengan jiwa manusia sebelum mereka dilahirkan ke bumi~ dalam ritual-ritual musik mereka. Dalam ayat al-Qur’an itu, Allah bertanya: “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Kaum sufi memandang bahwa ayat ini memiliki makna yang dalam berkenaan dengan relasi cinta antara Tuhan dengan jiwa hambanya. Dalam artian bahwa dengan tradisi sama’ kita akan berusaha untuk mengingat janji yang telah pernah kita buat sebelum kita berada di kehidupan ini yang dengannya kita akan merasakan kerinduan. Al-Junayd pernah berkata, “Ketika dikatakan pada anak Adam saat ditiupkannya ruh mereka pada Hari Perjanjian itu, bukankah aku ini Tuhanmu?, maka semua ruh menjadi terpikat dengan kenikmatannya. Demikianlah maka semua orang yang terlahir ke dunia ini, setiap mendengar suara yang indah, ruh mereka akan tergetar dan terganggu oleh ingatan akan kalam Ilahi tersebut, karena pengaruh kalam itu ada di dalam suara yang indah”.[ii]

Dengan demikian suara manusia yang digunakan untuk membaca syair-syair yang ditujukan kepada Tuhan, nabi Muhamad, dan para wali menjadi elemen sentral dalam musik sufi, walaupun musik sufi itu sendiri didasarkan pada berbagai karya sastra, komposisi musik, dan idiom-idiom simbolik.

Syair Dalam Tradisi Sufi

Dalam dunia tasawuf, syair merupakan sarana efektif yang diungkapkan secara spontan atau pun digali dari ingatan yang pada tahap tertentu berguna demi ekstase dan penyembahan sejati pada Tuhan. Di mana ketika hal ini sudah dicapai, maka Tuhan menjadi mata dan telinganya, dan perilakunya merefleksikan sifat-sifat-Nya.

Syair ini tidak hanya berupa ajaran individual yang terilahami, tetapi juga merupakan literatur yang sangat kompleks dan dibuat secara sengaja dengan aturan-aturan yang terkadang rumit mengenai sajak dan matra serta kode-kode interpretasi simbolik rumit yang mengisyaratkan suatu kedekatan intim dengan subyek.[iii]

Tradisi syair sufi dalam Islam telah digubah dalam berbagai bahasa, meliputi Bahasa Arab, Persia, India, Turki, bahkan juga bahasa yang digunakan di Afrika dan Asia. Namun dalam tulisan ini, sedikit yang hanya disinggung adalah syair sufi Arab dan Persia, di mana keduanya memiliki pengaruh serta eksis terlebih dahulu dari syair-syair sufi yang menggunakan bahasa selain keduanya.

Sebelum beranjak lebih jauh mengenai syair sufi Arab dan Persia dalam tradisi sufi, ada baiknya jika saya paparkan sedikit mengenai syair pra Islam. Yakni bahwa syair sudah menjadi suatu kebiasaan atau adat dalam masyarakat Arab sebelum datangnya Islam. Para jago syair di antara mereka sering beradu syair di depan khalayak. Siapa yang menang di antara mereka akan mendapatkan hadiah atau berupa pentahbisan posisi yang tinggi di mata masyarakat.

Perlu diketahui bahwa al-Qur’an dan juga sebagaimana mukjizat-mukjizat para nabi terdahulu memiliki ciri dan karateristik tersendiri, yakni bahwa mukjizat yang Allah turunkan adalah sesuai dengan kondisi serta situasi yang ada pada suatu kaum. Dan situasi umat Arab jahiliyyah pada waktu itu sedang digandrungi oleh karya sastra yang diimplementasikan dalam bentuk syair atau pun puisi. Dan al-Qur’an yang notabene merupakan mukjizat Nabi Muhammad yang lahir ditengah-tengah bangsa Arab memberikan suatu nilai karya sastra yang sangat tinggi yang tidak dapat ditandingi oleh bangsa Arab pada waktu itu. Sehingga ia menjadi daya tarik umat untuk selanjutnya bergabung dalam barisan Islam.

Kebiasaan syair ini pun kemudian tetap berlanjut pasca datangnya Islam. Namun kebiasaan ini ~yang nantinya membentuk budaya Islam~ sepenuhnya berbeda, terutama dalam tema-tema yang dibawa. Kalau kita perhatikan syair pra Islam, maka akan kita temukan bahwa syair tersebut bersifat ambigu. Karena tema yang diangkat dalam syair tersebut berkenaan dengan pemujaan terhadap perang antar suku, anggur, cinta kasih yang profan dan kebanggan diri. Sedangkan syair pasca Islam terilhami oleh al-Qur’an yang memiliki pengaruh luar biasa terhadap cita rasa keindahan bagi kaum muslim yang sekaligus menafikan dan mengganti syair-syair seperti itu dengan penyerahan diri kepada Allah yang merupakan wujud cinta, dan pujian kepada nabi sebagai seorang yang sempurna dari segi akhlak, ilmu, dan juga kerasulannya, serta juga para wali yang bertugas sebagai pembimbing umat dan penjaga agama.

Dari sekian syair Arab, terdapat di antaranya yang menggunakan perumpaan cinta dan anggur yang dengannya dapat menjadikan orang berpikiran bahwa sang penyair adalah seorang yang sekuler. Karena tidak dapat dipungkiri juga, bahwa para penyair Bani Uumayyah juga sering menggunakan ungkapan-ungkapan profan seperti itu. Walaupun memang sejarah mencatat bahwa ada upaya-upaya dari Bani Umayyah untuk menggangu sensibilitas religius Islam. Akan tetapi lain halnya jika para sufi yang dalam syairnya menggunakan perumpamaan cinta dan anggur. Kita tentu harus membedakan dan jangan sampai terjebak pada kesimpulan dangkal. Pada tataran ini kita perlu melihat konteks dan penafsirannya. Anggur tidak dapat diartikan sebagai minuman yang memabukkan yang dituangkan ke gelas-gelas oleh para pembantu khalifah, melainkan bahwa anggur merupakan bentuk simbolisme yang menggambarkan keadaan mabuk oleh cinta pada Tuhan.

Kemudian selain dari pada syair Arab dalam dunia Islam tasawuf, di sana juga terdapat syair sufi Persia yang tidak kalah indahnya dengan syair sufi Arab. Syair Persia menjadi begitu diminati oleh para peneliti dan pengagum syair dalam Islam setelah tampilnya tokoh-tokoh sufi Persia, seperti Jalaluddin Rumi, Hafiz, dan lainnya yang begitu terkenal di dunia tasawuf.

Syair sufi Persia sebenarnya tidak jauh berbeda dengan syair sufi Arab. Keduanya sama-sama menggunakan perumpamaan yang profan, seperti anggur dan gadis-gadis, yang berasal dari tradisi syair pra Islam. Di mana tradisi ini terus dibawa hingga masa kerajaan dalam Islam, yakni bahwa syair-syair yang demikian ini tumbuh dan berkembang di lingkungan istana yang dalam perkembangannya tidak dapat dipisahkan dari dua tradisi syair sufi ini. Kemudian kedua syair sufi ini memadukannya dengan nilai ke-Islam-an. Namun sedikit perbedaanya sebagaimana yang diutarakan oleh seorang professor dan pakar studi Islam dari Amerika, Carl W. Ernst bahwa para penyair Persia dalam syair sufinya cenderung untuk memilih syair empat baris (ruba’iyyah) untuk mengungkapkan pengetahuan mistis yang singkat.

Syair-syair sufi pada umumnya berpatokan pada perumpamaan-perumpamaan yang telah dikenal di kalangan para sufi. Di antara sekian perumpamaan itu adalah syair yang dalam kata-katanya mengacu pada kisah al-Hallaj, Laylah al-Qadr dan Hari Perjanjian dalam al-Qur’an. Hal ini dapat kita temukan pada syair sufi yang digubah oleh Hafiz, di mana ia memasukkan kalimat “Akulah kebenaran” yang merupakan ungkapan al-Hallaj.

Begitulah syair sufi memiliki ciri dan karakteristik tertentu. Sebagaimana halnya syair-syair non sufi yang sangat erat kaitannya dengan keidahan bahasa, syair-syair sufi pun demikian. Namun di antara sekian bahasa yang digunakan oleh para sufi dalam melantunkan syairnya, Bahasa Arab yang merupakan bahasa al-Qur’an ternilai sebagai bahasa yang paling ungul dan paling mumpuni. Hal ini bisa kita lihat pada kendala bahasa yang ada di syair sufi Persia ketika mengungkapkan pujian kepada Allah dengan pujian yang sangat tinggi. Yakni bahwa tidak adanya kemampuan dalam bahasa Persia untuk menggambarkan pujian kepada Allah yang membutuhkan bahasa yang tinggi. Di mana pada tataran ini, melazimkan adanya perpindahan bahasa, yakni dari Bahasa Persia ke Bahasa Arab yang memiliki segenap kesempurnaan bahasa, sehingga tak jarang dalam syairnya, Jalaluddin Rumi akan berpindah bahasa, dari syairnya yang semula menggunakan bahasa Persia berpindah ke bahasa Arab.

Kesimpulan

Dari paparan di atas dapat kita ketahui bahwa musik dan syair sudah menjadi bagian dari tradisi tasawuf. Keduanya tidaklah digunakan oleh para sufi kecuali untuk menimbulkan efek estetis dan efek emosional yang akan membimbing serta mengantarkan mereka dan para pendengar pada Cinta Hakiki.

Para sufi tidaklah jauh berbeda dengan para da’i yang selalu melantunkan kata-kata hikmah demi mengajak umat pada kebenaran Islam. Namun mereka memiliki cara serta metode tersendiri dalam dakwahnya. Mereka senang pada keindahan, dan begitu pun dalam dakwahnya mereka menggunkan syair, puisi, musik dan lainnya yang terkenal dalam tradisi sufi yang erat kaitannya dengan kesusastraan untuk juga mengajak umat pada kebenaran.


[i] Carl W. Ernst, Ajaran dan Amaliah Tasawuf, Pustaka Sufi, 2003, h. 236.
[ii] Ibid, h.238.
[iii] Ibid. h. 190.
Referensi
Ernst, Carl W., 2003, Ajaran dan Amaliah Tasawuf, Jogjakarta: Pustaka Sufi.
Awhadi, Muhammad Reza Ramzi, 2003, Cahaya Sufi: Jawaban Imam Khomeini terhadap 40 Soal Akhlak dan Irfan, Jakarta: Misbah.
Related Post
Tasawuf

* Pengalaman Mistis dan Wahyu
* Panteisme atau Wahdatul Wujud?
* Dialog Ringan Antara Sufi dan Menteri Kesehatan
* Problem Manusia Modern dan Solusinya (Sayyed Hossein Nasr's Perspective)
* Relasi Antara Cinta Dengan Sastra, dan Moral Dalam Sufisme